Di ujung timur
Pulau
Madura, tersembunyi sebuah kisah
sederhana namun menginspirasi dari
SMAN 1 Sapeken. Berdiri sejak tahun 2002 di wilayah kepulauan yang terpencil, sekolah ini selama lebih dari dua dekade bergumul dengan satu persoalan mendasar: kekurangan air tawar. Air asin menjadi bagian dari keseharian siswa—bukan karena pilihan, tetapi karena keadaan.
Air yang tersedia selama ini bersumber dari sumur dengan kadar garam tinggi. Tidak hanya
mengganggu kenyamanan saat beribadah dan kegiatan belajar mengajar, tapi juga membuat aktivitas dasar seperti menggunakan toilet menjadi pengalaman
yang
tidak menyenangkan. "Saya tidak ikut salat berjamaah karena air wudhunya asin, bikin mata perih,"
ujar seorang
siswa kepada guru mereka. “Saya ijin mau pulang untuk ke kamar mandi” ujar siswa yang lain. Keluhan sederhana itu menjadi titik balik yang memicu lahirnya inovasi besar dari sekolah kecil ini.
Masalah yang
Terabaikan
Masalah air asin
di SMAN 1 Sapeken bukan
hal
baru. Namun selama ini,
kondisi itu diterima sebagai "kenormalan" hidup di pulau.
Siswa terbiasa pulang
ke
rumah hanya untuk buang
air, bahkan membeli air mineral untuk
keperluan
sanitasi pribadi. Ini tidak hanya menurunkan
kenyamanan,
tetapi juga mengganggu
proses belajar.
Melihat urgensi tersebut, kepala sekolah bergerak cepat. Keluhan
siswa diverifikasi kepada warga sekolah lain, hingga akhirnya diputuskan
bahwa masalah
ini tak bisa dibiarkan.
Dari Musyawarah Hingga
Gotong
Royong
Solusi dimulai dari hal paling
sederhana: rapat guru. Dalam musyawarah, disepakati bahwa sekolah
perlu
mencari sumber
air tawar
yang bisa dimanfaatkan.
Kepala sekolah
bersama tim
kemudian melakukan penjajakan
ke masyarakat sekitar,
dan sambutan pun tak
terduga: tujuh warga bersedia menawarkan
sumur
pribadi mereka untuk digunakan sekolah.
Setelah melalui seleksi, satu sumur terbaik dipilih. Lokasinya strategis, dan kualitas airnya
paling layak untuk
kebutuhan
sekolah.
Tanpa
menunggu bantuan besar, sekolah
membeli pipa paralon dan memanfaatkan mesin
pompa air lama (Sanyo) yang
ada.
Proses pemasangan
dilakukan secara gotong royong antara guru, siswa,
dan warga sekitar.
Hasilnya? Untuk pertama kalinya dalam 23 tahun,
air
tawar mengalir
di sekolah.
Perubahan yang Nyata
Inovasi ini bukan
hanya soal air. Ini tentang
mengembalikan
martabat siswa dalam menjalani
kehidupan sekolah.
• Siswa kini nyaman
beribadah.
• Tidak ada lagi izin mendadak
untuk
pulang
ke rumah karena ingin ke toilet.
• Kegiatan belajar-mengajar
berjalan lebih
lancar.
• Kebersihan
sekolah meningkat drastis.
• Banyak tanaman
hias yang mulai hidup
• Dan yang terpenting: partisipasi warga dalam pendidikan
terasa nyata.
Memanusiakan Pendidikan
Inovasi pengadaan air tawar ini mungkin tampak sederhana di mata luar. Tapi di Sapeken, ini adalah lompatan besar. Ia menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya tentang nilai dan
kurikulum, tetapi juga tentang
keberpihakan terhadap kebutuhan
dasar anak-anak.
Kepala sekolah menyebutnya sebagai upaya untuk memanusiakan pendidikan, sebuah frasa
yang mungkin terlalu sering didiskusikan namun jarang keberpihakannya pada hari ini.
SMAN 1 Sapeken berharap
langkah kecil ini bisa menginspirasi sekolah-sekolah lain, khususnya di daerah-daerah kepulauan dan terpencil yang menghadapi tantangan serupa.
Karena sejatinya, inovasi bukan soal
teknologi tinggi, tetapi tentang keberanian untuk peduli terhadap mahluk hidup dan alam sebagai ciptaan
Allah SWT.
Penulis: Fujianto, S.S., M.Pd
Kepala
Sekolah SMAN 1 Sapeken